"Miris dan sangat menyedihkan. Seperti tak percaya, tapi itulah kenyataannya," lirih Theresia Sabu Hadjon terhenyak di kursinya. Umat paroki Katedral Larantuka ini tampak sedang menunjukkan keresahan yang sangat. Ia baru saja mengetahui bahwa mayoritas siswa kelas 5 SD di wilayah parokinya ternyata sudah terpapar pornografi di usia dini.
Kekhawatiran tersebut bahkan sampai mempengaruhi fisiologis tubuh. "Badan sampai lemas dan gemetar," akunya. Ia ketika itu memang sedang melakukan pendampingan kepada siswa Sekolah Dasar di wilayah paroki Katedral bersama kawan-kawannya dari Tim Relawan St. Martinus.
Kerja tim relawan selama dua hari tersebut adalah menanamkan pemahaman akan dampak positif dan negatif penggunaan media komunikasi digital. Ada sepuluh sekolah dasar (SD) yang mengikutsertakan siswanya pada pendampingan tersebut.
Di hari pertama, tema yang dibahas masih bersifat umum. Berlangsung dialog dan tanya jawab bersama siswa seputar aktivitas sehari-hari menggunakan media komunikasi digital. Para siswa tampak semangat terlibat dalam pembicaraan. Di akhir kegiatan, mereka mengikat komitmen bersama untuk membatasi pengunaan ponsel.
Hari berikutnya, tema pembahasan mulai menyoroti hal spesifik: dampak negatif media digital, khususnya masalah pornografi. Dan untuk menggali informasi, Theresia ditugaskan mendampingi siswa dari salah satu Sekolah Dasar. Jumlah peserta di kelompok itu sebanyak lima belas siswa. Tujuh putri dan delapan putra, semuanya masih duduk di kelas 5 SD.
Saat dialog, para siswa ditanyai. "Siapa yang pernah menonton film porno?" Tiga belas siswa menjawab sudah. Hanya dua yang mengaku belum pernah. Pertanyaan berlanjut, di mana mereka menonton? Ada yang menjawab di rumah, di rumah teman, di sekolah, dan di warnet Telkom.
Saat ditanya frekwensi nonton, ada yang menjawab sekali, dua kali dan ada yang sering. Ada pula yang bahkan mengaku sering nonton sebelum tidur malam. Ketika ditanya siapa partner nonton, ada yang mengaku nonton dengan teman sebaya, nonton sendiri, bersama kakak kelas, dan ada pula yang mengaku curi-curi melihat video di ponsel orang tua.
Selanjutnya mereka ditanya perasaan saat nonton. Ada yang menjawab takut, jijik, seram, dan mual. Mirisnya, salah satu siswa putra mengaku suka, merasa asyik, enak, dan bergairah. "Itu membuat saya merinding," tutur Theresia sambil merahasiakan identitas siswa dimaksud berikut sekolahnya.
Mencermati penggunaan media digital yang makin memprihatinkan, para siswa pun ditanyai strategi mereka untuk menekan dampak buruknya. Mereka menyatakan akan kembali menggunakan nokser alias Nokia Senter. Sedangkan untuk tugas-tugas yang harus dicari lewat internet, mereka menyatakan akan meminjam HP orang tua.
Penggunaan ponsel android itu pun dibatasi.. Ada yang sehari dua jam, tapi sebagian besar berjanji hanya akan mengunakan pada hari Minggu dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Di luar itu, mereka tidak akan menggunakannya kecuali kalau ada tugas dari sekolah.
Hasil bahasan sepuluh kelompok dampingan itu kemudian diplenokan. Jubir masing-masing membaca untuk didengarkan bersama. Di akhir pleno, Sr. Wilhelmina tampil memberikan arahan dan dilanjutan dengan ninton film bersama. Tayangan film menampilkan efek negatif ketagihan media digital. Ada anak yang sampai menjadi gila, mata buta, pembuluh darah mata pecah dan lainya karena ketagihan medsos.
Kegiatan selama dua hari itu pun ditutup dengan dialog bersama antara perwakilan orangtua, anak dan guru. Banyak orang tua yang mengaku baru tahu dan sadar akan bahaya media sosial. Sejumlah orangtua menyatakan rasa syukur dan mengucapkan terimakasih atas kegiatan tersebut.
"Usai hari pertama kegiatan, anak-anak saat pulang ke rumah mulai menyatakan tertib mengunakan HP," tutur perwakilan orang tua. Hal senada juga diungkapkan oleh guru dan beberapa kepala sekolah yang hadir. (Teks: Theresia Sabu Hadjon, Edit: Simpet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar